Legenda Gunung
Kelud
(Jawa
Timur – Indonesia)
Gunung Kelud merupakan sebuah gunung api
yang terletak di Kecamatan Ngancar, Kabupaten Kediri, Jawa Timur, Indonesia.
Meskipun telah puluhan kali meletus dan memakan relatif banyak korban jiwa
sejak abad ke-15 sampai abad ke-20. Gunung api ini menjadi salah satu obyek
wisata yang menarik di daerah itu karena keindahan panorama alamnya. Gunung
yang memiliki ketinggian 1.730 meter di atas permukaan laut ini semakin menarik
minat para pengunjung karena setiap tanggal 23 Suro (penanggalan Jawa)
masyarakat setempat menggelar acara larung sesaji. Pagelaran acara tersebut
merupakan simbol Condro Sengkolo atau
sebagai penolak bala dari bencana akibat pengkhianatan cinta yang dilakukan
oleh Putri Kerajaan Majapahit terhadap seorang pemuda bernama Lembu Sura.
Bagaimana penghianatan cinta itu terjadi? Ikuti kisahnya dalam cerita Legenda
Gunung Kelud berikut ini!
Alkisah, di daerah Jawa Timur, ada
seorang raja bernama Raja Brawijaya yang bertahta di Kerajaan Majapahit. Ia mempunyai
seorang putri yang cantik jelita bernama Dyah Ayu Pusparani. Sang Putri
memiliki keindahan tubuh yang sangat memesona, kulitnya lembut bagai sutra, dan
wajahnya elok berseri bagaikan bulan purnama. Sudah banyak pengeran datang
melamar, namun Prabu Brawijaya belum menerima satu pun lamaran agar tidak
terjadi kecemburuan di antara pelamar yang lain. Di sisi lain, penguasa
Majapahit itu juga tidak ingin menolak secara langsung karena takut mereka akan
menyerang kerajaannya.
Setelah berpikir keras, Prabu Brawijaya
menemukan sebuah cara, yaitu ia akan mengadakan sayembara bahwa barang siapa
yang berhasil merentang busur sakti Kyai Garudayeksa dan mengangkat gong Kyai
Sekardelima maka dialah yang berhak mempersunting putrinya. Ia memerintahkan
para pengawalnya untuk menyampaikan pengumuman tersebut kepada seluruh
rakyatnya, termasuk kepada para raja dan pangeran dari kerajaan-kerajaan di
sekitarnya.
Pada saat yang telah ditentukan, para
peserta dari berbagai negeri telah berkumpul di alun-alun istana kerajaan.
Prabu Brawijaya pun tampak duduk di atas singgasananya dan didampingi oleh
permaisuri dan putrinya. Setelah busur Kyai Garudyeksa dan gong Kyai Sekadelima
disiapkan, Prabu Brawijaya segera memukul gong pertanda acara dimulai. Satu
persatu peserta sayembara mengeluarkan seluruh kesaktiannya untuk merentang
busur dan mengangkat gong tersebut, namun tak seorang pun yang berhasil.
Bahkan, tidak sedikit dari mereka yang mendapat musibah. Ada yang patah
tangannya karena memaksakan diri merentang busur sakti itu, dan ada pula yang
patah pinggangnya ketika mengangkat gong besar dan berat itu.
Ketika Prabu Brawijaya akang memukul
gong untuk menutup sayembara itu, tiba-tiba datanglah seorang pemuda berkepala
lembu hendak mengandu keberuntungan.
“Ampun, Gusti Prabu! Apakah hamba
diperkenankan mengikuti sayembara ini?” pinta pemuda itu.
“Hai, pemuda aneh! Siapa namamu?” tanya
Prabu Brawijaya.
“Nama saya Lembu Sura,” jawab pemuda
itu.
Prabu Brawijaya beranggapan bahwa pemuda
itu tidak akan mampu merentang busur sakti dan mengangkat gong besar itu. Ia
pun mengizinkannya mengikuti sayembara itu sebagai peserta terakhir.
“Baiklah! Kamu boleh mengikuti sayembara
ini,” ujar Prabu Brawijaya.
Lembu Sura pun menyanggupi persyaratan
itu. Dengan kesaktiannya, ia segera merentang busur Kyai Garudayaksa dengan
mudah. Keberhasilan Lembu Sura itu diiringi oleh tepuk tangan para penonton
yang sangat meriah. Sementara itu, Putri Dyah Ayu Pusparani terlihat cemas,
karena ia tidak ingin bersuamikan manusia berkepala lembu.
Ketika Lembu Sura menghampiri gong
Sekardelima, semua yang hadir tampak tegang, terutama sang Putri. Ia sangat
berharap agar Lembu Sura gagal melewat ujian kedua itu. Tanpa diduganya, pemuda
berkepala lembu itu ternyata mampu mengangkat gong Sekardelima dengan mudah.
Tepuk tangan penonton pun kembali bergema, sedangkan Putri Dyah Ayu Purpasari
hanya terdiam. Hatinya sangat sedih dan dan kecewa.
“Aku tidak mau bersuami orang yang
berkepala lembu,” seru sang Putri seraya berlari masuk ke dalam istana.
Mendengar ucapan putrinya itu, Prabu
Brawijaya langsung terkulai karena telah mengecewakan putrinya. Namun sebagai
seorang raja, ia harus menepati janjinya untuk menjaga martabatnya. Dengan
demikian, Putri Dyah Ayu Pusparani harus menerima Lembu Sura sebagai suaminya.
`Hadirin sekalian! Sesuai dengan
janjiku, maka Lembu Sura yang telah memenangkan sayembara ini akan kunikahkan
dengan putriku!” seru Prabu Brawijaya.
Seluruh pesarta sayembara pun
berlomba-lomba memberikan ucapan selamat kepada Lembu Sura. Sementara itu, di
dalam istana, Putri Dyah Ayu Pusparani menangis tersedu-sedu meratapi nasibnya.
Berhari-hari ia mengurung diri di dalam kamar. Ia tidak mau makan dan minum.
Melihat tuannya sedang sedih, seorang Inang pengasuh berusaha membujuk dan
menasehatinya.
“Ampun, Tuan Putri! Jika Tuan Putri
tidak mau menikah dengan Lembu Sura, sebaiknya Tuan Putri segera mencari jalan
keluar sebelum hari pernikahan itu tiba,” ujar Inang pengasuh.
Mendengar nasehat itu, sang Putri
langsung terperanjat dari tempat tidurnya.
“Benar juga katamu, Mak Inang! Kita
harus mencari akal agar pernikahanku dengan orang yang berkepala lembu itu
dibatalkan. Tapi, apa yang harus kita lakukan? Apakah Mak Inang mempunyai
usul?” tanya sang Putri bingung.
Inang pengasuh hanya terdiam. Sejenak,
suasana menjadi hening. Setelah berpikir keras, akhirnya Inang pengasuh
menemukan sebuah jalan keluar.
“Ampun, Tuan Putri! Bagaimana kalau Tuan
Putri meminta satu syarat yang lebih berat lagi kepada Lembu Sura?” usul Inang
pengasuh.
“Apakah syarat itu, Mak Inang?” tanya
sang Putri penasaran.
“Mintalah kepada Lembu Sura agar Tuan
Putri dibuatkan sebuah sumur di puncak Gunung Kelud untuk tempat mandi kalian
berdua setelah acara pernikahan selesai. Tapi, sumur itu harus selesai dalam
waktu semalam,” usul Mak Inang.
Putri Dyah Ayu Pusparani pun menerima
usulan Inang pengasuh dan segera menyampaikannya kepada Lembu Sura. Tanpa
berpikir panjang, Lembu Sura menyanggupi persyaratan itu. Pada sore harinya,
berangkatlah ia ke Gunung Kelud bersama keluarga istana, termasuk sang Putri.
Setibanya di Gunung Kelud, Lembu Sura
mulai menggali tanah dengan menggunakan sepasang tanduknya. Dalam waktu tidak
berapa lama, ia telah menggali tanah cukup dalam. Ketika malam semakin larut,
galian sumur itu semakin dalam. Lembu Sura sudah tidak tampak lagi dari bibir
sumur. Melihat hal itu, Putri Dyah Ayu Pusparani semakin panik. Ia pun mendesak
ayahandanya agar menggagalkan usaha Lembu Sura membuat sumur.
“Ayah! Apa yang harus kita lakukan?
Putri tidak mau menikah dengan Lembu Sura,” keluh sang Putri dengan bingung.
Prabu Brawijaya pun tidak ingin
mengecewakan putri kesayangannya untuk yang kedua kalinya. Setelah berpikir
keras, akhirnya ia menemukan sebuah cara untuk menghabisi nyawa Lembu Sura.
“Pengawal! Timbun sumur itu dengan tanah
dan bebatuan besar!” seru Prabu Brawijaya.
Tak seorang pun pengawal yang berani
membantah. Mereka segera melaksanakan perintah rajanya. Lembu Sura yang berada
di dalam sumur berteriak-teriak meminta tolong.
“Tolooong...! Tolooong...! Jangan timbun
aku dalam sumur ini!” demikian teriakan Lembu Sura.
Para pengawal tidak menghiraukan
teriakan Lembu Sura. Mereka terus menimbun sumur itu dengan tanah dan bebatuan.
Dalam waktu sekejap, Lembu Sura sudah terkubur di dalam sumur. Meski demikian,
suaranya masih terdengar dari dalam sumur. Lembu Sura melontarkan sumpah kepada
Prabu Brawijaya dan seluruh rakyat Kediri karena sakit hati.
“Yoh,
Kediri mbesuk bakal pethuk piwalesku sing makaping kaping yaiku Kediri bakal
dadi kali, Blitar dadi latar, Tulungagung bakal dadi Kedung".
(Wahai orang-orang Kediri, suatu saat
akan mendapatkan balasanku yang sangat besar. Kediri bakal jadi sungai, Blitar
akan jadi daratan, dan Tulungagung menjadi daerah perairan dalam).
Dalam sumpahnya, Lembu Sura berjanji
bahwa setiap dua windu sekali dia akan merusak seluruh wilayah kerajaan Prabu
Brawijaya. Mendengar ancaman itu, Prabu Brawijaya dan seluruh rakyatnya menjadi
ketakutan. Berbagai usaha pun dilakukan untuk menangkal sumpah Lembu Sura
tersebut. Ia memerintahkan para pengawalnya agar membangun sebuah tanggul
pengaman yang kokoh (kini telah berubah menjadi gunung bernama Gunung Pegat)
dan menyelenggarakan selamatan yang disebut dengan larung sesaji. Meski
demikian, sumpah Lembu Sura tetap juga terjadi. Setiap kali Gunung Kelud
meletus, masyarakat setempat menganggap hal itu merupakan amukan Lembu Sura
sebagai pembalasan dendam atas tindakan Prabu Brawijaya dan Putrinya.
Demikian kisah Legenda Gunung Kelud dari
daerah Kediri, Jawa Timur. Hingga saat ini, masyarakat Kediri, khususnya
masyarakat Desa Sugih Waras, secara rutin (yaitu setiap tanggal 23 Syura)
menyelenggarakan acara selamatan larung sesaji di sekitar kawah Gunung Kelud.
Setidaknya ada dua pelajaran yang dapat dipetik dari carita di atas yaitu pertama
bahwa hendaknya kita jangan suka meremehkan kemampuan seseorang dengan hanya
melihat bentuk fisiknya karena siapa mengira di balik semua itu tersimpan
kekuatan yang luar biasa.
Pelajaran kedua yang dapat dipetik dari
cerita di atas adalah bahwa orang yang suka mengingkari janji seperti Putri
Dyah Ayu Pusparani dan Prabu Brawijaya dapat mendatangkan bencana kepada
dirinya sendiri maupun orang lain. Meletusnya Gunung Kelud yang mengakibatkan
jatuhnya banyak korban jiwa merupakan akibat dari ulah Prabu Brawijaya dan
putrinya yang tidak menepati janjinya kepada Lembu Sura. Sifat suka mengingkari
janji ini merupakan sifat tidak terpuji yang harus dijauhi, karena termasuk
sifat orang-orang munafik
No comments:
Post a Comment
Komentar dengan menggunakan kata-kata yang sopan